(Realita Bangsa Yang “Kaya” Impor dan Mafia)
Oleh
Ahmad Daud Alamsyah
Mahasiswa Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian
Universitas Sriwijaya, Palembang
Pada awal penulisan artikel ini saya akan mengatakan bahwa pemerintah saat ini “kurang”
memperhatikan kondisi ekonomi rakyat. Coba kita simak pada UU No.18
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, terutama pada Pasal
36 ayat 5 yang mengakatakan : “Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang sehat bagi hewan atau ternak dan produk hewan”. Jika kita cermat, maka kita akan berkesimpulan pemerintah saat ini telah terang-terangan melanggar Undang-Undang (UU)?.
Pada pasal tersebut ada sepenggal kalimat yang mengatakan “…menciptakan iklim usaha yang sehat…”. “Sehat”,
sesuatu yang sulit didapat oleh peternak kita saat ini, betapa tidak
ketika UU ini ditetapkan dan disahkan pada tahun 2009 kemarin tidak
kunjung membuat kondisi peternak indonesia “sehat” alias sejahtera. Hal
ini disebabkan karena para pengambil kebijakan untuk kemaslahatan 240
juta masyarakat Indonesia (pemerintah) belum mempunyai “nyali” untuk
mandiri diberbagai sektor terutama sektor peternakan dan yang mencakup
didalamnya seperti daging dan susu.
“Iklim usaha yang sehat” seperti disinggung pada pasal 36
ayat 5 diatas hanya coretan hitam diatas putih belaka. Bagaimana tidak,
ketika pasar daging di Indonesia (terutama sapi) dibanjiri oleh daging
impor murah dari negeri kangguru “Australia” yang telah merusak tata
niaga dan harga daging di tingkat lokal. Akibatnya, para peternak selalu
merugi sehingga tingkat kesejahteraannya terus menurun dan membuat
peternak lokal kita menjadi terus terpuruk. Apakah kondisi seperti ini
yang disiggung oleh pasal tersebut???. Atau pernyataan saya yang keliru,
yang menyatakan pemerintah telah melanggar UU???.
Coba kita kilas balik kejadian yang terjadi pada bulan Mei 2011
lalu tentang video kekerasan pada sapi yang terjadi di beberapa Rumah
Pemotongan Hewan (RPH) di Indonesia yang berakhir pada penghentian impor
sapi dari Australia ke Indonesia selama 6 bulan. Tapi nyatanya
penghentian itu tidak sepenuhnya 6 bulan, hanya berlangsung selama
kurang lebih satu bulan. Namun penghentian impor sapi ke Indonesia yang
hanya berlangsung sekitar satu bulan tersebut langsung merugikan para
peternak Australia hingga miliaran rupiah. Yang membuat Perdana Menteri
Australia Julia Gillard akhirnya memutuskan memberikan bantuan kepada
para peternak sapi Australia hingga AUD 30 juta (US$ 32 juta) atau
sekitar Rp 288 miliar, karena rugi akibat keputusan penghentian ekspor
daging sapi ke Indonesia tersebut.
Sederet angka rupiah fantastis yang diberikan oleh
pemerintah Australia kepada peternak lokal “negeri kangguru” yang pada
saat itu sedang mengalami keterpurukan. Lantas yang menjadi pertanyaan,
bagaimana dengan pemerintah kita sekarang, apakah “masih ada nyali”
untuk membuat kebijakan dan mengimplementasikannya secara benar yang
bedampak kepada kesejahteraan masyarakat banyak terutama dikalangan
peternak lokal negeri ini???. Memang banyak program yang dibuat
pemerintah untuk kemajuan di bidang peternakan, terutama untuk
menyongsong swasmbada daging 2014. Bahkan jumlah rupiah (alokasi dana)
untuk program penyelamatan sapi betina produktif oleh Direktorat Jendral
Petenakan dan kesehatan Hewan Kementrian Pertanian pada tahun 2011 ini
mencapai angka 700M rupiah. Namun, angka hanya sekedar angka yang tidak
berdampak kepada kesejahteraan peternak lokal Indonesia, hal ini
disebabkan kaena masih “buruknya” jiwa jujur pejabat kita yang lebih
doyan mengenyangkan perut sendiri dibandingkan mengenyangkat perut umat.
Bangsa saat ini memang lagi mengalami kondisi
“kaya” impor dan mafia. Betapa tidak, jumlah impor daging Indonesia
tahun 2011 ini mencapai 72.000 ton. Ternyata angka impor tersebut belum
mencukupi kebutuhan daging di negeri kaya ini, sehingga pemerintah
memutuskan untuk menambah impor 28.000 ton lagi, sehingga tahun 2011 ini
jumlah impor daging Indonesia mencapai 100ribu ton (wajar kondisi ini
membuat peternak kita menjerit), karena pemerintah lebih mengutamakan
impor daripada pengembangan peternak lokal.
Lantas bagaimana dengan praktek mafia peternakan di Indonesia?.
Secara sederhana saja, mafia secara kasar dapat diartikan sebagai
“perampok”, kalau mau halus dapat dikatakan sebagai “penjahat umat”
tinggal mau pilih redaksi yang mana kasar atau halus. Ironisnya mafia
peternakan tidak hanya didatangkan dari dalam negeri tetapi juga diluar
negeri. Sebagai contohnya, “mafia luar negeri” Australia misalnya,
berperan dalam menghambat perkembangan peternakan di Indonesia dengan
cara menyulitkan impor sapi betina produktif ke Indonesia. Alhasil,
pemerintah seolah-olah kehabisan ide cerdasnya untuk mengatasi
permasalahan ini, padahal kita punya potensi ternak lokal yang luar
biasa seperti sapi bali, sapi madura dan sapi aceh yang dapat berkembang
jika dikembangkan secara intensif dengan sentuhan teknologi modern.
Tentunya, tidak hanya pemrintah yang hanya berperan dalam kemajuan
peternakan di Indonesia tetapi perlu juga ide segar dari kalangan
akademisi dan pihak terkait, hanya saja persentasi peran pemeritah lebih
besar dibandingkan pihak lain.
Belum selesai masalah “mafia luar negeri” perkembangan peternakan
kita juga dihambat oleh praktek “mafia dalam negeri”. Mafia harga
misalnya, saya pernah berdiskusi dengan rekan mahasiswa di Jawa Timur
(sekarang sudah alumni) permainan harga sendiri dilakukan oleh anggota
kelompok pedagang jual beli daging sapi sendiri, yang selisih marginnya
mencapai Rp25ribu per kg. Di tingkatan peternak sendiri keuntungan tidak
mencapai angka setinggi itu, padahal peternak hulu (pembudidaya) lebih
banyak mengeluarkan modal, mulai dari pemeliharaan, benih ternak hingga
pemberian pakan ternak yang harganya melambung tinggi sedangkan mafia
harga hanya bermodalkan “kaya modal” saja.
Selain mafia harga, ada juga yang namanya mafia “ternak berdasi”
yang hobinya menghabiskan uang bantuan untuk masyarakat. Meskipun belum
terbukti, coba kita tinjau kembali alokasi dana yang diberikan oleh
pemerintah Indonesia yang berjumlah 700M untuk program penyelamatan sapi
betina produktif, yang jika dana tersebut benar pada proporsi
penggunaan yang semestinya seharusnya Indonesia tidak lagi mengimpor
daging. Tapi kondisi sekarang indonesia masih ketergantungan dengan yang
namanya impor daging terutama dari negeri kanguru tersebut.
Maka wajar kalau saya mengatakan swasembada daging 2014 hanya
angan-angan belaka, karena “kaya” impor dan mafia masih merajalela di
tanah air ini. Meskipun surplus daging kalau didapat dari hasil
impor artinya kita belum bisa swasembada daging. Sebagai penutup yang
sedikit mengkritik, jika pemerintah Indonesia gagal swasembada daging
pada tahun 2005, kemudian gagal lagi pada tahun 2009, yang menjadi
pertanyaan akankah 2014 terjadi kegagalan yang sama???. Terakhir,
kesimpulan sekaligus solusi hentikan impor, berantas mafia peternakan
dan manfaatkan serta hargai potensi lokal negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar