Rabu, 03 Oktober 2012

Mafia Peternakan

Angan – Angan Swasembada Daging 2014
(Realita Bangsa Yang “Kaya” Impor dan Mafia)

Oleh
Ahmad Daud Alamsyah
Mahasiswa Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian
Universitas Sriwijaya, Palembang
Pada awal penulisan artikel ini saya akan mengatakan bahwa pemerintah saat ini “kurang” memperhatikan kondisi ekonomi rakyat. Coba kita simak pada UU No.18 Tahun 2009  tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, terutama pada Pasal 36 ayat 5 yang mengakatakan : “Pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang sehat bagi hewan atau ternak dan produk hewan”. Jika kita cermat, maka kita akan berkesimpulan pemerintah saat ini telah terang-terangan melanggar Undang-Undang (UU)?.
Pada pasal tersebut ada sepenggal kalimat yang mengatakan “…menciptakan iklim usaha yang sehat…”. “Sehat”, sesuatu yang sulit didapat oleh peternak kita saat ini, betapa tidak ketika UU ini ditetapkan dan disahkan pada tahun 2009 kemarin tidak kunjung membuat kondisi peternak indonesia “sehat” alias sejahtera. Hal ini disebabkan karena para pengambil kebijakan untuk kemaslahatan 240 juta masyarakat Indonesia (pemerintah) belum mempunyai “nyali” untuk mandiri diberbagai sektor terutama sektor peternakan dan yang mencakup didalamnya seperti daging dan susu.
“Iklim usaha yang sehat” seperti disinggung pada pasal 36 ayat 5 diatas hanya coretan hitam diatas putih belaka. Bagaimana tidak, ketika pasar daging di Indonesia (terutama sapi) dibanjiri oleh daging impor murah dari negeri kangguru “Australia” yang telah merusak tata niaga dan harga daging di tingkat lokal. Akibatnya, para peternak selalu merugi sehingga tingkat kesejahteraannya terus menurun dan membuat peternak lokal kita menjadi terus terpuruk. Apakah kondisi seperti ini yang disiggung oleh pasal tersebut???. Atau pernyataan saya yang keliru, yang menyatakan pemerintah telah melanggar UU???.
Coba kita kilas balik kejadian yang terjadi pada bulan Mei 2011 lalu tentang video kekerasan pada sapi yang terjadi di beberapa Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Indonesia yang berakhir pada penghentian impor sapi dari Australia ke Indonesia selama 6 bulan. Tapi nyatanya penghentian itu tidak sepenuhnya 6 bulan, hanya berlangsung selama kurang lebih satu bulan. Namun penghentian impor sapi ke Indonesia yang hanya berlangsung sekitar satu bulan tersebut langsung merugikan para peternak Australia hingga miliaran rupiah. Yang membuat Perdana Menteri Australia Julia Gillard akhirnya memutuskan memberikan bantuan kepada para peternak sapi Australia hingga AUD 30 juta (US$ 32 juta) atau sekitar Rp 288 miliar, karena rugi akibat keputusan penghentian ekspor daging sapi ke Indonesia tersebut.
                Sederet angka rupiah fantastis yang diberikan oleh pemerintah Australia kepada peternak lokal “negeri kangguru” yang pada saat itu sedang mengalami keterpurukan. Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana dengan pemerintah kita sekarang, apakah “masih ada nyali” untuk membuat kebijakan dan mengimplementasikannya secara benar yang bedampak kepada kesejahteraan masyarakat banyak terutama dikalangan peternak lokal negeri ini???. Memang banyak program yang dibuat pemerintah untuk kemajuan di bidang peternakan, terutama untuk menyongsong swasmbada daging 2014. Bahkan jumlah rupiah (alokasi dana) untuk program penyelamatan sapi betina produktif oleh Direktorat Jendral Petenakan dan kesehatan Hewan Kementrian Pertanian pada tahun 2011 ini mencapai angka 700M rupiah. Namun, angka hanya sekedar angka yang tidak berdampak kepada kesejahteraan peternak lokal Indonesia, hal ini disebabkan kaena masih “buruknya” jiwa jujur pejabat kita yang lebih doyan mengenyangkan perut sendiri dibandingkan mengenyangkat perut umat.
                Bangsa saat ini memang lagi mengalami kondisi “kaya” impor dan mafia. Betapa tidak, jumlah impor daging Indonesia tahun 2011 ini mencapai 72.000 ton. Ternyata angka impor tersebut belum mencukupi kebutuhan daging di negeri kaya ini, sehingga pemerintah memutuskan untuk menambah impor 28.000 ton lagi, sehingga tahun 2011 ini jumlah impor daging Indonesia mencapai 100ribu ton (wajar kondisi ini membuat peternak kita menjerit), karena pemerintah lebih mengutamakan impor daripada pengembangan peternak lokal.
Lantas bagaimana dengan praktek mafia peternakan di Indonesia?. Secara sederhana saja, mafia secara kasar dapat diartikan sebagai “perampok”, kalau mau halus dapat dikatakan sebagai “penjahat umat” tinggal mau pilih redaksi yang mana kasar atau halus. Ironisnya mafia peternakan tidak hanya didatangkan dari dalam negeri tetapi juga diluar negeri. Sebagai contohnya, “mafia luar negeri” Australia misalnya, berperan dalam menghambat perkembangan peternakan di Indonesia dengan cara menyulitkan impor sapi betina produktif ke Indonesia. Alhasil, pemerintah seolah-olah kehabisan ide cerdasnya untuk mengatasi permasalahan ini, padahal kita punya potensi ternak lokal yang luar biasa seperti sapi bali, sapi madura dan sapi aceh yang dapat berkembang jika dikembangkan secara intensif dengan sentuhan teknologi modern. Tentunya, tidak hanya pemrintah yang hanya berperan dalam kemajuan peternakan di Indonesia tetapi perlu juga ide segar dari kalangan akademisi dan pihak terkait, hanya saja persentasi peran pemeritah lebih besar dibandingkan pihak lain.
Belum selesai masalah “mafia luar negeri” perkembangan peternakan kita juga dihambat oleh praktek “mafia dalam negeri”. Mafia harga misalnya, saya pernah berdiskusi dengan rekan mahasiswa di Jawa Timur (sekarang sudah alumni) permainan harga sendiri dilakukan oleh anggota kelompok pedagang jual beli daging sapi sendiri, yang selisih marginnya mencapai Rp25ribu per kg. Di tingkatan peternak sendiri keuntungan tidak mencapai angka setinggi itu, padahal peternak hulu (pembudidaya) lebih banyak mengeluarkan modal, mulai dari pemeliharaan, benih ternak hingga pemberian pakan ternak yang harganya melambung tinggi sedangkan mafia harga hanya bermodalkan “kaya modal” saja.
Selain mafia harga, ada juga yang namanya mafia “ternak berdasi” yang hobinya menghabiskan uang bantuan untuk masyarakat. Meskipun belum terbukti, coba kita tinjau kembali alokasi dana yang diberikan oleh pemerintah Indonesia yang berjumlah 700M untuk program penyelamatan sapi betina produktif, yang jika dana tersebut benar pada proporsi penggunaan yang semestinya seharusnya Indonesia tidak lagi mengimpor daging. Tapi kondisi sekarang indonesia masih ketergantungan dengan yang namanya impor daging terutama dari negeri kanguru tersebut.
Maka wajar kalau saya mengatakan swasembada daging 2014 hanya angan-angan belaka, karena “kaya” impor dan mafia masih merajalela di tanah air ini. Meskipun surplus daging kalau didapat dari hasil impor artinya kita belum bisa swasembada daging. Sebagai penutup yang sedikit mengkritik, jika pemerintah Indonesia gagal swasembada daging pada tahun 2005, kemudian gagal lagi pada tahun 2009, yang menjadi pertanyaan akankah 2014 terjadi kegagalan yang sama???. Terakhir, kesimpulan sekaligus solusi hentikan impor, berantas mafia peternakan dan manfaatkan serta hargai potensi lokal negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar